Sejarah pemerintahan daerah Serang mencakup waktu sangat panjang, karena berawal dari pembentukan Kesultanan Banten abad ke-16. Pemerintahan di daerah tersebut berlangsung pada zaman kompeni, Hindia Belanda, Pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Banten mengalami dinamika akibat gejolak situasi politik pada zaman penjajahan, bahkan kesultanan itu akhirnya dihapuskan. jaman Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang, Serang menjadi ibukota Keresidenan Banten dan Kabupaten Serang. Kedudukan Serang yang disebut terakhir berlangsung sampai sekarang. Mulai akhir tahun 2000, Serang kembali memiliki kedudukan penting sebagai ibukota.
Pada masa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal H.W. Daendels adalah orang pertama yang memperkenalkan sistem pemerintahan barat yang modern kepada masyarakat Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya di Indonesia, ia sangat memperhatikan urusan pemerintahan dan administrasi negara. Dalam hal ini, Daendels menjalankan pemerintahan yang bersifat sentralistis. Segala kekuasaan dan keputusan berada pada dirinya. Semua urusan pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah diatur dari pusat di Batavia. Pejabat-pejabat di daerah hanya menerima dan menjalankan instruksi dari Gubernur Jenderal. Dalam sistem pemerintahannya Daendels memperkenalkan jabatan prefect, yaitu pejabat Eropa/ Belanda setingkat residen yang menguasai wilayah administratif yang disebut prefectur. Prefect merupakan wakil pemerintah kolonial di daerah yang dikuasainya dan bertanggung jawab langsung kepada gubernur jenderal. Istilah prefect kemudian diubah menjadi landdrost, dan prefectur menjadi landdrostambt. Daendels menyatakan bahwa semua pejabat, baik pejabat Eropa maupun pribumi adalah pegawai Pemerintah Hindia Belanda.
Dengan kata lain, ia memodifikasi kedudukan bupati dari penguasa daerah (tradisional) menjadi aparat pemerintah kolonial yang berada di bawah pengawasan prefect. Sistem pergantian bupati secara turuntemurun tidak diakui, kemudian diganti dengan sistem penunjukkan (Syafrudin, 1993 : 263). Berdasarkan Regeringsreglement (RR) 1854, pemerintahan di Hindia Belanda tetap bersifat sentralistis, kecuali pemerintahan desa yang dibiarkan otonom berdasarkan adat setempat. Akan tetapi pada pemerintahan yang sentralistis itu dijalankan pula azas dekonsentrasi, yaitu sejumlah tugas pemerintahan dilimpahkan oleh pemerintah pusat yaitu gubernur jenderal kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hierarkis.
Pejabat-pejabat itu berkedudukan di daerah-daerah dan mereka menjalankan tugasnya terbatas pada lingkungan wilayah jabatan tertentu yang disebut daerah administratif atau pemerintahan lokal administratif (Syafrudin, 1993: 271). Karena pemerintahan dijalankan oleh pangrehpraja, maka pemerintahan itu dikenal dengan sebutan ”Pemerintahan Pangrehpraja” (Lubis, 2003: 91). Dalam sistem pemerintahan kolonial ini meskipun menerapkan sistem pemerintahan modern dan berusaha mengurangi kekuasaan bupati, tetapi pemerintahan tradisional tetap berlangsung tanpa mengalami perubahan sistem pemerintahan. Bupati tetap dibantu oleh pejabat struktural dan pejabat fungsional.
Pejabat struktural terdiri atas patih, wedana, (kepala distrik/ hoofddistrict), asisten wedana (hoofdonderdistrict), dan lurah (kepala desa). Pejabat fungsional terdiri atas jaksa kepala (hoofdjaksa), penghulu kepala (hoofdpenghulu), kanduruan (kepala/ mantri besar paseban), kumitir kepala (hoofdcommitteer), ondercollecteur (pengumpul pajak, demang, ngabei, kaliwon, panglaku, lengser (kabayan), sejumlah mantri, dan lain-lain.
Akhir abad ke-19 wilayah Jawa Barat dibagi dalam lima karesidenan. Tiap karesidenan terdiri atas sejumlah afdeeling dan kabupaten. Kelima karesidenan itu adalah:
Setiap karesidenan terdiri atas beberapa Kabupaten dan Kotapraja. Karesidenan Banten terdiri atas tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Serang, Lebak, dan pandeglang. Para bupati yang ditunjuk/diangkat baik oleh pemerintah pusat maupun oleh KNID setempat, diantaranya adalah R.Hilman Jayadiningrat sebagai Bupati Serang; K.H TB. Hasan sebagai Bupati Lebak; dan K.H. TB. Abdul Halim sebagai Bupati Pandeglang.
Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah dan budaya yang cukup panjang, dan berdasarkan UU No. 23 tahun 2000 kini Banten merupakan salah satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Impian masyarakat Banten menjadi provinsi sesungguhnya sudah sejak lama diperjuangkan, yaitu tepatnya pada tahun 1953. Keinginan untuk menjadi provinsi pada saat itu bukan sekedar persoalan grafis, tetapi Banten memiliki nilai-nilai historis yang dipandang cukup menjadi alasan untuk menjadi daerah tersendiri. Salah satu nilai historis yang hampir tidak dimiliki oleh wilayah lain di tanah air adalah Banten pernah memiliki mata uang sendiri yang bernama ORIDAB (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten ) yang dicetak di Serang.
Kecamatan Cinangka pada akhir Tahun 1997 masih menjadi bagian pemerintahan kawedanaan anyar sampai terbentuknya kota Cilegon, dan pada saat itu Kecamatan Cinangka di pimpin oleh Camat Hendi Kuspiandi,BA.
Daftar nama Camat tahun 1996 sampai dengan sekarang
Kecamatan Cinangka sebagai pusat pemerintahan kecamatan diambil dari nama salah satu desa cinangka yang memiliki sejarah nama, konon dahulu ada sebuah sumur keramat yang disampingnya tumbuh pohon buah nangka. Kemudian pada suatu hari buah nangka tersebut jatuh kedalam sumur, ketika ada seseorang yang mengambilnya dan ingin membelah buah nangka tersebut tetapi tidak mempan. Maka diberilah kampung tersebut dengan nama Cinangka.
Datangnya ajaran agama Islam ke Cinangka, yaitu tugas dari Sultan Maulana Hassanudin dulu untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Cinangka mengutus namanya Tb. Lebe Rasmana, diutus dalam periode kesultanan Abu Mufahir Mahmud Abdul Qadir sultan ketiga. Kemudian Tb. Muhammad Safe‟i yang diutus dari Pandeglang ke Cinangka utusan K.H. Mansyur Cikaduen diteruskan dengan anak cucunya K.H. Ahmad bin K.H. Arsana dengan pengembangan ahlusunah waljamaah dengan dibawah naungan organisasi madrasah Alkhairiyah, dibantu dengan ustad-ustad lain.
Tahun 1960 ada seorang ulama yang bernama K.H. Tb. Moh. Wase‟ datang ke Cinangka, kemudian mulai mengelola pesantren di Cinangka mengembangkan paham ahlusunah waljamaah, dengan beberapa tahun itulah dibawah asuhan K.H. Tb. Moh. Wase‟ pengembangan tokoh-tokoh yang sifatnya pengkaderan jadi seluruh ustad mendapatkan ilmunya dibawah asuhan K.H. Tb. Moh. Wase‟, kemudian ustad tersebut menyebarkan ke wilayah-wilayahnya masingmasing. Oleh karena itu, banyak muridnya berasal dari mana saja ada yang dari Cilegon, Serang, pandeglang, dan sebagainya. Setelah K.H. Tb. Moh. Wase‟ wafat pengembangan agama Islam di Cinangka diteruskan oleh ustad Ruslan selaku keponakan dari K.H. Tb. Moh. Wase‟. 11 Tahun 1950.
Kondisi sosial keagamaan masyarakat Cinangka masih terbilang belum mendekati kesempurnanaan, bahkan pada saat itu masyarakat jarang melaksanakan ibadah. Kendalanya memang banyak karena kondisi ekonomi pada masa itu belum sejahtera, sehingga mendorong orang untuk sibuk bekerja dengan tidak menyeimbangkan kegiatan dirinya dengan masalah rohaniah, norma sosial adat dan agama dalam penerapannya bergeser sedikit demi sedikit semakin menurun, dan kurangnya masyarakat melaksanakan shalat berjamaah di masjid.
Kebudayaan Masyarakat Cinangka tidak jauh berbeda dengan budaya masyarakat Banten daerah lainnya pada umumnya. Adapunkebudayaan di Cinangka terdiri dari kesenian yang berupa qosidahan, kesenian tersebut masih tetap belum berubah kecuali kemasan-kemasannya.Bahasa masyarakat Cinangka menggunakan bahasa sunda bercampuran Jawa.20 Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi perpaduan dua bahasa tersebut, diantaranya kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten. Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa penduduk yang pusat kekuasaan politiknya di Banten Girang adalah bahasa Sunda sedangkan bahasa sunda dibawa oleh Syarif Hidayatullah kemudian oleh putranya Hasanuddin berbarengan dengan penyebaran agama Islam.
Kebudayaan lainnya yang ada di Cinangka adalah TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) yaitu salah satu aliran dari pencak silat yang tertua. Pencak silat ini merupakan olahraga atau seni bela diri dan dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan diri dari serangan lawan. Namun terkadang masyarakat Cinangka menjadikan pencak silat ini sebagai hiburan seperti pada pesta-pesta pernikahan maupun pada acara-acara tertentu.
Budaya lainnya yaitu terlihat pada acara pernikahan. Di Cinangka umumnya tradisi pernikahan selalu di mulai dengan pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani (maca Syekh). Maca syekh ini bertujuan agar mendapatkan keselamatan, keberkahan dan keinginannya tercapai. Ketika maca syekh ada juga ritual seperti ramalan, jadi apabila seseorang ingin mengetahu kisah hidupnya, baik itu yang sudah lalu, yang sedang terjadi, maupun akan terjadi, ritual tersebut disebut dengan Najo. Jadi apabila seseorang ingin di tajo, maka ia harus menyelipkan uang kedalam kitab dengan sembarang, kemudian orang yang membaca syekh akan membacakan di lembar yang telah diselipkan uang tersebut, lembar tersebutlah yang menjadi Tradisi masyarakat Cinangka pada umumnya yang berhungan dengan keagamaan, tradisi yang ada di masyarakat Cinangka antara lain memperingati Peringati Hari Besar Islam, Memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW, memperingati Rajaban, dan lain sebagainya. Sampai saat ini tradisi yang berada di Cinangka tidak ada perubahan dan terjaga dari generasi kegenerasi.